MUSLIMPEDIA - Abdurrohman Al-Jaziri yaitu Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah, hlm. 4/142 membagi kemarahan suami yang marah menjadi 3 (tiga) tingkatan sebagai berikut:
أما طلاق الغضبان فاعلم أن بعض العلماء قد قسم الغضب إلى ثلاثة أقسام :
الأول : أن يكون الغضب في أول أمره فلا يغير عقل الغضبان بحيث يقصد ما يقوله ويعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى يقع طلاقه وتنفذ عباراته باتفاق الثاني : أن يكون الغضب في نهايته بحيث يغير عقل صاحبه ويجعله كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى لا يقع طلاقه لأنه هو والمجنون سواء الثالث : أن يكون الغضب وسطا بين الحالتين بأن يشتد ويخرج عن عادته ولكنه لا يكون كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه والجمهور على أن القسم الثالث يقع به الطلاق
Artinya: Adapun talaknya orang yang marah maka sebagian ulama membaga kemarahan itu menjadi 3 (tiga) bagian:
Pertama,
kemarahan tingkat pertama. Ia tidak merubah akal orang yang marah dalam arti ia
sengaja mengucapkan apa yang dikatakan dan menyadarinya. Tidak diragukan bahwa
marah dalam tingkat ini sah dan terjadi talaknya menurut kesepakatan ulama.
Kedua,
kemarahan tingkat tertinggi yang dapat merubah akal sehingga seperti orang gila
yang tidak bersengaja atas apa yang dikatakan dan tidak menyadarinya. Tidak
diragukan bahwa kemarahan dalam tingkat ini tidak terjadi talaknya karena ia
sama dengan orang gila.
Ketiga, kemarahan tingkat menengah antara tingkat pertama kedua yakni orang yang emosinya meningkat dan keluar dari kebiasaan akan tetapi tidak sampai pada tingkat orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Menurut jumhur (mayoritas ulama antar mazhab) kemarahan tipe ketiga ini sah dan terjadi talaknya.
Ketiga, kemarahan tingkat menengah antara tingkat pertama kedua yakni orang yang emosinya meningkat dan keluar dari kebiasaan akan tetapi tidak sampai pada tingkat orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Menurut jumhur (mayoritas ulama antar mazhab) kemarahan tipe ketiga ini sah dan terjadi talaknya.
Pada
halaman 4/144 Al-Jaziri dalam kitab yang sama (Al-Fiqh alal Mazahib Al-Arba'ah)
mengutip pendapat beberapa mazhab secara detail dan juga pendapat Ibnul Qayyim
sbb:
"Mazhab Hanafi menyatakan yang melakukan pembagian marahnya suami menjadi tiga bagian itu adalah Ibnul Qayyim, seorang ulama mazhab Hambali. Ibnu Qayyim memilih pendapat bahwa talaknya orang yang marah dalam kategori ketiga tidak sah dan tidak terjadi talaknya. Pendapat yang tahqiq menurut mazhab Hanafi adalah bahwa orang yang marah yang kemarahannya keluar dari karakter dan kebiasaan aslinya sehingga merubah rasionalitasnya dalam perkataan dan perbuatannya maka talaknya tidak terjadi (tidak sah) walaupun ia sadar dan sengaja dengan apa yang dia katakan. Ia sedang dalam keadaan berubah pemahamannya karena itu maka kesengajaannya itu tidak didasarkan pada pemahaman yang benar, maka ia seperti orang gila. Orang gila tidaklah harus selalu dalam keadaan tidak menyadari apa yang dikatakannya.
"Mazhab Hanafi menyatakan yang melakukan pembagian marahnya suami menjadi tiga bagian itu adalah Ibnul Qayyim, seorang ulama mazhab Hambali. Ibnu Qayyim memilih pendapat bahwa talaknya orang yang marah dalam kategori ketiga tidak sah dan tidak terjadi talaknya. Pendapat yang tahqiq menurut mazhab Hanafi adalah bahwa orang yang marah yang kemarahannya keluar dari karakter dan kebiasaan aslinya sehingga merubah rasionalitasnya dalam perkataan dan perbuatannya maka talaknya tidak terjadi (tidak sah) walaupun ia sadar dan sengaja dengan apa yang dia katakan. Ia sedang dalam keadaan berubah pemahamannya karena itu maka kesengajaannya itu tidak didasarkan pada pemahaman yang benar, maka ia seperti orang gila. Orang gila tidaklah harus selalu dalam keadaan tidak menyadari apa yang dikatakannya.
Orang
yang marah dengan kemarahan tingkat menengah ini sering berbicara rasional tapi
tidak bisa terus menerus konsisten bicara logis. Jelas ini menguatkan pendapat
Ibnul Qayyim yang menjelaskan bahwa tingkat kemarahan si suami tidak seperti
orang gila.. Walaupun Ibnul Qayyim bermazhab Hanbali, akan tetapi ulama mazhab
Hanbali tidak mengakui pendapat ini.
Yang
dapat difaham dari kaidah keempat mazhab adalah bahwa kemarahan yang tidak
sampai merubah kesadaran seseorang dan tidak menjadikannya seperti orang gila
maka talaknya sah dan terjadi tanpa keraguan. Begitu juga kemarahan pada
tingkat menengah yaitu kemarahan yang sangat sampai ia keluar dari tabiat asal
tapi tidak sampai pada tingkat seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang
dikatakan. Talaknya orang ini juga sah dan terjadi. Adapun talak yang dapat
merubah kesadaran sehingga ia menjadi seperti orang gila maka talaknya tidak
dianggap dan tidak sah.
Ini
adalah pendapat eksplisit dari ulama mazhab Hanafi. Akan tetapi berdasarkan
pendapat dari sebagian mazhab Hanafi bahwa kemarahan apabila keluar dari
kebiasaan dan membuat si suami tidak rasional dalam perilaku dan perkataan maka
talaknya tidak sah dan tidak terjadi. Pendapat ini adalah pendapat yang baik
karena dalam keadaan ini ia seperti orang mabuk yang hilang akal dan
kesadarannya disebabkan oleh minum miniman non-alkohol maka mereka dihukumi
talaknya tidak terjadi. Dengan demikian, maka orang yang marah sebaiknya
dihukumi demikian juga.
Ada
yang bertanya dengan argumen bahwa menganalogikan orang marah dengan orang
mabuk karena minuman non-alkohol telah menjadikan hukum hanya terbatas pada
orang yang dimurkai Allah seperti marah karena mempertahankan diri atau harta
atau agama. Sedangkan orang yang marahnya karena sebab yang haram seperti marah
karena dengki pada orang yang tidak setuju padanya atas perkara batil atau
marah pada istrinya secara zalim dan permusuhan dan kemarahannya sampai pada
batas ini maka talaknya sah dan terjadi karena kemarahannya membuat dia tidak
rasional. Maka jawabannya adalah: bahwa marah adalah sifat personal yang ada
pada setiap manusia yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Pada dasarnya
marah tidak haram karena ia bersifat inheren pada diri manusia untuk
mempertahankan diri dalam membela agama, harga diri, harta dan nyawa.
Yang
haram adalah menggunakan kemarahan di luar tujuan yang dibolehkan. Beda halnya
dengan alkohol yang tidak dibolehkan bagi manusia untuk menggunakannya dalam
keadaan apapun. Oleh karena itu, terjadinya talak bagi orang yang mabuk itu
sebagai pencegahan agar tidak melakukannya. Sedangkan marah itu tidak mungkin
dilarang karena itu merupakan watak bawaan manusia. Karena itu maka tidak sah
membandingkan kemarahan manusiawi dengan mabuk karena minuman keras atau hal
lain yang haram yang wajib dijauhi."(Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh alal
Mazahib al-Arbaah, 4/144).
Pendapat
ini didukung oleh sejumlah ulama Mesir kontemporer seperti Ali Jum'ah (mantan
mufti Mesir), Sayyid Sabiq, Jad al-Haq,
RUJUKAN
- Al-Quran dan Al-Hadits
-
Kitab Al-Umm oleh Imam Syafi'i
-
Kitab Mukhtashar al-Fiqh al-Islami fi Dhau al-Quran was Sunnah
Kitab at Talaq.
-
Kitab Fathul Qorib Al-Majid oleh Abu Zakariya Al
Anshari.
-
www.pa-negara.go.id
0 comments:
Post a Comment