~ Ini hukum untuk pernikahan diambil dari kisah nyata yang datang dari saudari saya Aisyah (nama samaran) dari Tayu Pati Jawa Tengah ~
Permasalahan yang ada pada Aisyah :
Aisyah (21 th) bekerja di sebuah koperasi simpan pinjam (KSP) dia hanya tinggal serumah dengan ibunya, kakak laki-lakinya sudah menikah dan tinggal di luar kota.
Tidak tega melihat ibunya bekerja untuk membiayai hidup keluarga, menjadikan Aisyah harus bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Apapun akan di jajani Aiyah, asal ibunuya bisa bahagia, dan kebutuhan hidup tercukupi.
Setelah ayahnya meninggal awalnya Aisyah berat menjalani hidup, karna tidak ada lagi yang menanggung kebutuhan keluarga. Setelah mendapatkan pekerjaan Aisyah mulai terbiasa hidup tanpa seorang ayah, meskipun jauh berbeda saat keluarganya masih utuh namun Aisya yakin Allah tetap akan memberikan rezeki kepadanya.
Satu tahun berlalu, ibunya yang berstatus janda di lamar orang. Ketika si ibu meminta persetujuan Aisyah selalu menolak, dengan alasan rasa sayangnya dengan almarhum ayahnya tidak bisa tergantikan. banyaknya orang yang ingin melamar ibunya, lama kelamaan Aisyah merasa ga tega melihat ibunya kesepian hingga akhirnya dengan berat hati Aisyah memberikan izin pada ibunya untuk menikah lagi.
Meskipun sudah tinggal satu rumah dengan ayah tirinya, Aisyah dalam hati tetap tidak pernah menganggap kalau itu ayahnya. Suasana rumahnya memang terdengar ramai penuh canda, hanya saja dia selalu bersikap baik dan senyum kepada ayahnya.
Diusianya yang sudah 21 tahun, Aisyah hendak dilamar pacarnya, namun masih ada ganjalan dihatinya. Aisyah senang sekali dilamar pacarnya, namun saat prosesi adat pernikahanya tidak mau kalau ayah tirinya menjadi wali, apalagi harus sungkem dikakinya sebab menurut Aisyah dia tidak punya menikahkan apalagi menjadi wali. Tidak sudi kalau saya harus sungkem di kaki ayah tiriku, tegas Aisyah.
Mendekati hari pernikahanya, Aisyah bertanya tanya pada banyak orang. Dia menceritakanya pasal yang tidak mau kalau wali nikahnya ayah tiri, dan tidak mau sungkem di kakinya saat prosesi adat nikah di atas mimbar pengantin.
Ayah Tiri Bukan
Kerabat Jadi Tidak Bisa Menjadi Wali Nikah
Setelah Aisyah mencari pemahaman tetang siapa yang berhak menjadi wali nikahnya setelah Ayahnya, dari seorang ustadz yang masih satu kampung denganya Aisyah mendapatkan pencerahan bahwa ayah tiri bukan kerabat. Dia suami ibu,
namun tidak memiliki hubungan nasab ataupun kekerabatan dengan anak tirinya.
Hanya saja, ayah tiri bisa menjadi mahram bagi anak tirinya, jika sudah terjadi
hubungan badan dengan ibunya.
Allah berfirman,
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
“(Diantara wanita yang haram dinikahi
adalah) Anak-anak (perempuan) isterimu yang dalam asuhanmu dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (QS. An-Nisa’: 23)
Ayat ini menunjukkan bahwa ayah tiri
adalah orang lain (bukan mahram), andaikan dia tidak menikah dengan ibu dari
anak tirinya.
Berdasarkan keterangan di atas, ayah
tiri tidak memiliki hak perwalian. Dia tidak bisa menjadi wali nikah anak
tirinya. Memaksakan diri untuk menikahkan anak tiri, bisa menyebabkan
pernikahan tidak sah, karena dia tidak berhak menjadi wali.
Dr. Abdullah Jibrin pernah ditanya
hukum akad nikah, sementara ayah tiri yang menjadi wali nikahnya?
Jawaban beliau,
لا يصح
هذا العقد، حيث
إن زوج أمها
ليس ولياً لها،
وليس هو من
عصبتها غالباً
”Akad semacam ini tidak sah. Karena suami ibu pengantin wanita itu, bukanlah wali baginya, dan umumnya dia bukan keluarga penerima ashabah dari wanita itu.”
Dalam buku Fiqh Usrah, Dr. Ahmad Rayan
menegaskan bahwa sebab perwalian ada 5:
- Perwalian karena sebab perbudakan, seperti seorang tuan menjadi wali untuk pernikahan budak perempuannya
- Perwalian karena sebab kekerabatan, mencakup perwalian karena nasab, seperti ayah, kakek dan seterusnya ke atas, atau perwalian karena hubungan warisan ashabah, seperti saudara, atau paman.
- Perwalian karena sebab wasiat. Ini terjadi ketika wali yang paling berhak mewasiatkan (mewakilkan) kepada orang lain untuk menjadi wakilnya.
- Perwalian karena sebab jabatan di masyarakat. Pejabat resmi pemerintah (hakim) yang berwenang dalam urusan pernikahan, berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.
- Perwalian karena sebab agama. Dalam arti seorang muslim bisa menjadi wali bagi muslimah yang bukan keluarganya, dengan syarat, empat jenis wali sebelumnya, tidak ada. Misalnya wanita yang tidak memiliki wali, sementara dia tinggal di negeri kafir yang tidak ada hakim muslim yang layak menangani masalah ini.
Referensi : - QS. An-Nisa’: 23
- Fiqh Usrah, hlm. 108
- Fiqh Usrah, hlm. 108
nice share om thanks penjelasannya
ReplyDeleteSouvenir Pernikahan Kediri